Sabtu, 20 November 2010

The True Love


Penyesalan yang ku sesali


Cinta, begitu sulitkah aku memahaminya…
Saat aku terbelenggu rasa, saat ku kira ini benar cinta
Haruskah ku sesali cinta, yang ku rasa begitu tak adil…
Atau harus ku terima cinta sebagai pelabuhan jiwa…

____o0o____

P E M A L A S… gelar itu mungkin begitu melekat pada diriku. Sebagai seorang pelajar, tentulah tak pantas aku menyandang gelar itu. Tapi apalah daya, inilah gelar yang sebagian penduduk Indonesia sandang.
Namun hari ini berbeda. Aku seperti tertarik dan begitu terobsesi untuk pergi ke sekolah. Entah apa yang akan terjadi. Seperti pelajar laki-laki lainnya, aku terkadang tak serapi ini. Bisa dibilang aku termasuk orang yang semrawut. Tapi, apa yang membuatku seperti ini? Mimpi semalamkah? Ah tak mungkin. Rasanya semalam aku tertidur begitu lelap sehingga, bunga tidurpun tak kunjung menghampiri sampai sang fajar membiaskan sinarnya.
Matahari semakin giat menerangi bumi. Lamunan masih membelengguku. Tanpa sadar, aku telah terduduk mematung di kursiku. Ini berarti, sedari tadi aku telah menjelma menjadi mayat hidup yang berjalan, walau fikiranku melayang entah kemana. Kali ini lain cerita, seluruh penghuni kelas kini mengarahkan pandangan mereka padaku. Tatapan mereka begitu lekat. Sorotan mata mereka seolah mengisyaratkan berbagai pertanyaan yang berkecamuk dalam otak mereka. Entah, “apa ini benar-benar Andre?” atau “benturan keras macam apa yang membuatnya berubah seperti ini?” Huft… ditambah lagi pertanyaan yang ada di benakku. Aku heran, apa yang membuatku terus memikirkan perubahan yang terjadi pada diriku? … saat lamunanku mulai beranjak, aku mulai merasa tidak nyaman akan sorotan mata tajam yang semakin melekat. Akupun geram.
“Apa-apaan sih kalian ini! Memangnya ada yang salah denganku?”
“Kamu kesambet ya ndre? Tumben rapi banget!” Roy nyeletuk.
“kalian pikir, selama ini aku bagaimana?”
“Semrawut ndre. Lalat aja ga mau mendekat apalagi hinggap padamu!”
“Sembarangan! Memangnya aku seburuk itu?”
“ini kan hanya pengamatanku!...”
“lalu, apa yang salah dengan perubahanku?”
“Malah bagus kali ndre. Sekarang kupu-kupu pun akan mendekatimu!”
“Sudahlah… pergi kau!!!!”
Roy memang pergi tapi yang lain masih belum beranjak dari posisi mereka.
“Pergi kalian semua!!!!” emosiku memuncak.
Mengapa aku tak dapat menahan amarahku? Ingin rasanya aku marah, melampiaskan semua. Aku semakin berharap rasa penasaranku segera terjawab.
Bel sekolah berbunyi. Hal biasa bagiku. Sebentar lagi, ibu Ani pasti sampai di kelas. Guru yang paling disiplin di sekolah ini. Benar saja tebakanku. Namun sesuatu yang janggal ku lihat. Ia tidak datang sendiri. Seorang gadis berjilbab putih menyertai di belakangnya. Aku terperangah. Rasanya tlah ku temukan harta karun yang sedari tadi terpandam dalam sekali di fikiranku.
“Anak-anak, ini adalah teman baru kalian. Zahra namanya. Ia merupakan siswa pindahan dari SMA Global, Jakarta. Silahkan kalian berkenalan lebih lanjut pada jam istirahat”
Ucapan bu Ani terhenti sejenak. Ia lalu mempersilahkan Zahra duduk di samping Sazki. Zahra menjangkau tempat duduknya dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
Aku berada tepat di belakangnya. Aku merasa tak berdaya. Jantungku kini berdegup begitu kencang. Aku terpaku walau hanya melihatnya dari belakang. Sungguh indah parasnya saat tadi ia tersenyum. Zahra, bunga yang kini bersemi di hatiku.
Waktunya istirahat. Tapi Zahra tetap berada di dalam kelas. Aku memandangnya dari jendela yang sedikit berdebu. Namun pesonanya ternyata tak hilang. Aku semakin mengaguminya. Bukan hanya mengagumi kecantikannya. Melainkan sikap sopannya, senyum ramahnya, dan diamnya yang penuh dengan misteri. oh Tuhan, inikah bingkisan terindahmu? Inikah alasanMu mengubahku? Jika memang benar, aku tak akan menyesal. Terimakasih Tuhan…

______o0o______


Hari berganti hari. Aku tetap mengagumi Zahra walaupun ia tak pernah sekalipun mengarahkan pandanganya padaku. Roy pun telah mengetahui bahwa gelora asmara sedang membakar jiwaku.
“Ndre, suka toh sama Zahra?”
“Jangan asal bicara Roy! Tau dari mana kamu kalau aku menyukainya?”
“Tatapan mata boy… beda sama orang yang ga jatuh cinta!!”
“Ngawur aja!”
Namun tak dapat kupungkiri bahwa semua benar adanya. Aku memang menyimpan rasa yang teramat dalam pada bunga terindahku, Zahra…
Aku memaksa otakku bekerja begitu keras untuk memikirkan bagaimana, mengungkapakan perasaanku pada Zahra. Zahra berbeda dengan gadis yang selama ini ku dekati. Ia anggun dan begitu tertutup. Zahra, mengapa kau buat aku jadi gila?

_____o0o_____

Hidupku kini lebih berwarna. Tapi aku selalu disibukkan dengan bayangan gadis pujaanku. Aku selalu mencoba menyapanya, melemparkan senyum termanis yang ku punya, bahkan mencari-cari perhatiannya dengan segala cara. Tapi ia tetap bungkam, menunduk, dan terasa segan walau hanya menatap kedua bola mataku.
“Tenang ndre. Cinta itu butuh perjuangan. Akan terasa hambar bila mudah untuk kau dapatkan!!!” Roy memberi semangat.
Roy memang sudah seperti burung beo. Cerewet sekali temanku yang satu ini. Namun kali ini ia cukup bijak. Maklumlah, ia sudah cukup banyak merasakan getir indahnya cinta. Play boy lapuk tepatnya. Aku berbeda darinya. Walau aku tertular lebel Roy sebagai Play Boy, tapi aku bukanlah orang yang seprti itu. Aku setia, bahkan aku belum pernah berpacaran. Oleh karena itu, aku berharap Zahra menerimaku, seperti aku menerimanya sebagai permaysuri pertama yang menduduki singgasana hatiku.
____o0o____

Di hari kesepuluh semenjak ia tercatat sebagai siswi di sekolah yang sama denganku. Perasaanku masih sama pada Zahra. Teganya dirimu tak pernah menganggapku. Padahal dari tatapan matamu aku tahu, ada pintu hati yang terbuka untukku. Aku mendekatinya, seperti biasa saat jam istirahat.
“hai! ga ke kantin?” tanyaku lembut.
“aku sudah bawa bekal” jawabnya tanpa menatapku.
“bagaimana kalau kita beli minuman?”
“aku juga sudah membawa minum” jawabnya tanpa mengangkat wajahnya sedikitpun.
“mengapa kau selalu diam?” aku mulai serius.
“itu bukanlah urusanmu!” jawabnya tegas berselimut kelembutan.
Dingin sekali wanita ini. Berulang kali aku bertanya pertanyaan yang sama, ia tetap menjawab dengan jawaban yang sama pula. Aku pergi meninggalkannya. Percuma aku berada di sisinya namun tak dianggap sama sekali. Setelah langkah keempatku, ia memnggilku. “Andre…” katanya. Betapa senangnya aku. Akhirnya ia memanggil namaku. Aku menoleh dan segera menuju ke tempat yang sempat ku tinggalkan.
“Ada apa?” tanyaku penuh harap.
“Maafkan aku…” katanya lirih.
Ia lantas meninggalkan aku dengan rasa penasaran yang bermukim dalam benakku. Maaf, apakah kesalahannya? Aku yang membuatnya merasa terganggu. Mengapa ia yang meminta maaf? Kau memang penuh misteri, Zahra.
Suara teriakan meminta tolong kini bergemuruh. Aku berlari ke luar kelas. Aku mencoba untuk menerobos masuk ke kerumunan teman-teman. Zahra… ia pingsan, wajahnya begitu pucat. Aku tertegun tanpa sadar bahwa Zahra telah dilarikan ke UKS.
“Ndre, cepat! Jangan bengong. Ayo kita lihat Zahra!” suara Roy samar kudengar.
Ah, makhluk apa sih yang selalu membuatku diam tak bersuara saat aku tersentak rasa kaget yang berlebihan seperti ini? Aku harap makhluk ini segera pergi , sehingga aku dapat tersenyum saat Zahra sadar. Tapi, apakah ini juga merupakan sebuah pertanda buruk?

____o0o_____




Tiga hari setelah peristiwa buruk itu terjadi, Zahra kembali masuk sekolah. Wajahnya masih pucat. Bibirnya terkatup seolah menyembunyikan rasa sakit yang melanda. Aku tak tahu apa yang terjadi. Akupun tak tega menanyakan mengapa. Tapi sesuatu seolah mendorongku. Hatiku mantap untuk mengutarakan perasaanku. Entah ini adalah waktu yang tepat atau tidak, tapi aku harus… harus bicara padanya, apapun jawabannya. Tertatih aku mendekatinya. Aku meminta seluruh penghuni kelas membiarkan kelas hening sejenak.
“Zahra, apa kau baik-baik saja?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Tentu saja!” jawabnya singkat.
“Bolehkah aku berpanjang lebar mengutarakan maksudku?”
“Apa yang ingin kau katakan?”
“Aku mencintaimu Zahra, sangat…”
Ia hanya tersenyum, menghela nafas lalu berkata…
“Cinta, tahukah kau apa itu cinta?”
“Ya. Itu adalah perasaanku padamu.” Balasku.
“Sesungguhnya kau tak tahu cinta itu apa dan bagaimana!”
“Memang aku tak tahu sepenuhnya, tapi tolong ajari aku.”
“Akupun belum dapat memaknai cinta pada hakikat yang sebenarnya!!”
“Tak penting bagiku bagaimana kau memaknai cinta. Tak penting bagiku apa arti cinta yang sesungguhnya. Yang terpenting hanyalah kau Zahra!!!”
“Aku tak mau kau terluka!”
“Bagaimana aku dapat terluka bila aku mendapatkan mu yang selembut sutra?”
Zahra mulai menoleh. Menatapku begitu lekat. Namun dengan air mata yang tertahan di pelupuk matanya.
“Akupun menyimpan perasaan yang sama denganmu. Namun aku hanya tak ingin kau menangis!”
“Apa maksudmu?” tanyaku begitu penasaran.
Aku seolah tak mau terbelenggu penasaran yang berlebih. Aku ingin ia menjawabku. Tapi ia diam. Lalu ia melepas jilbabnya perlahan. Mataku terbelalak. Aku tak percaya ini semua.
“Ini aku ndre, Zahra yang kau puja. Apakah kau akan tetap mengagumiku dengan kondisiku saat ini?”
Aku terdiam. Aku tak percaya dengan penglihatanku. Tak ada sehelai rambutpun di kepala Zahra. Ya, Zahra botak. Kepalanya dipenuhi bekas jahitan.
“Mengapa kau diam?” tanya Zahra sambil tersedu. “Ini aku… Masih dapatkah kau bilang bahwa kau mencintaiku?” Lanjutnya tertatih.
Aku tak terima dengan ini semua. Ini tak adil. Mengapa saat aku benar-benar mencintai seseorang, aku harus dihadapkan pada posisi yang begitu sulit. Aku marah dengan keadaan ini. Aku berlari keluar menahan amarahku tanpa memikirkan Zahra yang kembali mengenakan jilbabnya sambil tersedu. “Ini tak adil” aku berteriak sambil berlari menjauh. Semua heran melihat sikapku. Tapi tak ku hiraukan itu. Aku hanya menyesali cinta yang ku anggap salah.
Roy menghampiriku…
“Kawan kembalilah ke tempat Zahra!” Roy memecah kesunyian.
“Apa kau sudah gila. Aku tak mungkin kembali! Dia benar-benar membuatku kacau!” balasku menghentak.
“Apa kau sadar apa yang kau lakukan?”
“ya tentu. Kesalahan terbesarku adalah mencintainya!!!!”
“kau salah. Cinta tak salah ndre. Hanya keadaan yang tak mencoba mengerti.”
“ga usah sok bijak lagi. Pergi saja kau burung beo!!!!!!!”
“Zahra meninggal ndre! Ia mengalami pendarahan yang hebat di kepalanya. Mengapa kau tinggalkan ia saat ia membutuhkanmu. Mengapa kau mengutuknya, padahal ia tak tahu apa salahnya. Kau manusia yang paling jahat yang pernah aku kenal ndre, sungguh…”
Telingaku berdenging. Zahra meninggal… aku terpuruk pada kesedihan dan penyesalanku. Ingin rasanya ku tarik ucapanku. Aku sama sekali tak menyesal telah mencintainya. Ingin ku cabut penyesalanku yang tlah tertancap dalam bumi. Aku merasa bersalah karena telah menganggap semua tak adil. Aku malu. Padahal sebenarnya akulah yang paling tak adil. Aku mengharapkannya sedari dulu. Tapi aku benar-benar bermental lemah untuk menerima keadaan. Maafkan aku Zahra. Sungguh aku tak tahu masih pantaskah aku menangis. Aku mencintaimu Zahra, lebih dari egoku selama ini. Kau boleh membenciku, namun jangan hapus kenanganku tentangmu. Kau bunga terindahku Zahra. Kau tak kan layu bersama penyesalan yang ku sesali…

Sang Pemetik Daun Teh Karya : Azkiyyatus Syariifah

Sang pemetik daun teh
Mengayunkan jemari, menarik pucuk dengan senyum
Senyum ikhlas dari keteguhan hati
Hati yang terkadang ingin menangis

Sang pemetik daun teh
Berdiri tegar dibalik bentangan permadani hijau
Diselimuti langit biru dan lipatan kabut syahdu
Ditemani hewan melata yang terkadang tak tahu malu

Tak pernah lelah menyusuri jalan berliku
Tak pernah takut terjatuh walau jalan menanjak berseru
Tak pernah ragu meyusuri lorong sempit yang tak berujung
Tak pernah berhenti walau rintik hujan menyapa
Tak pernah gentar walau petir menggelegar dan siap menyambar

Demi rupiah kau menyanggupi tuk bertahan
Demi pelepas rasa lapar kau pasrahkan jiwa

Walau hasil membuatmu miris
Kau tetap memanggul keranjang berisi ribuan daun teh
Walau do’a dan tangismu belum terjawab
Kau syukuri semua dengan tetap berusaha
Walau langkah kau rasa mulai goyah
Semangat tak pernah kau biarkan padam dalam gelap

Tak ada kata berhenti selama nyawa berada dalam raga
Tak ada untaian keluhan selama pucuk daun teh setia tuk tumbuh
Karena hidup bukanlah penantian
Tapi hidup adalah perjalanan
Inilah mereka…
Yang tersembunyi dibalik kemegahan dunia
Lihatlah mereka sebagai wajah ibu pertiwi
Bukan lagi sebagai isak tangis yang terbengkalai